Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan buku pedoman umat islam di seluruh dunia.Karena sesuai dengan tujuan di turunkannya Al-quran ke muka bumi ini adalah untuk mnejadi pentunjuk bagi seluruh manusia.Akan tetap,Dibalik segudang keistimewaan Al-Qur’an,banyak sejarah yang mengikuti perkembangan Al-Quran,diantaranya adalah sejarah penyususunan Al-Quran atau dalam istiilah lain kodifikasi.
Berikut merupokan sejarah kosdifikasi Al-Qur’an dari zaman ke zaman.
Zaman Rasulullah
Bangsa Arab waktu itu terkenal الأمّى (ummiy) tidak mengenal bacaan dan tulisan seperti sabda beliau
إنا أمية لا نكتب ولا نحسب
“Sesungguhnya kami kaum yang ummiy, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung” (H.R. Bukhari)
Hikmah menjadi bagian dari kaum ummiy menjadi penegasan dan bukti bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah SWT dan bukan karya beliau pribadi karena pada dasarnya Rasulullah tidak pernah membaca kitab apapun atau menulisnya sebelum Al-Qur’an diturunkan sesuai bunyi surat Al-Ankabut ayat 48
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ ولا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu Kitab pun sebelum adanya Al-Qur’an dan engkau tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu. Sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscara ragu orang-orang yang mengingkarinya.”
Berdasarkan ayat diatas beserta fakta-fakta sejarah(seperti saat perjanjian Hudaibiyah dsb) dapat kita ambil kesimpulan bahwa Rasulullah itu الأمّى (ummiy). Dalam bahasa arab makna asli الأمّى (ummiy) ialah “buta huruf” tetapi para ulama dan cendekia kontemporer kurang setuju bahwa kata الأمّى (ummiy) yang dilekatkan pada Rasulullah masih diartikan “buta huruf”. Sebagai gantinya mereka mengusulkan arti atau makna yang lebih sesuai dengan konteks sekarang yaitu “tidak bisa baca tulis” karena memang Rasulullah tidak pernah diajar guru manusia manapun
Walaupun bangsa Arab adalah kaum ummiy tapi mereka diberi kelebihan ingatan yang sangat kuat. Dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair para pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dsb pengangan utama mereka adalah dengan hafalan semata. Keahlian menulis mulai dikembangkan pada masa perang Badar, orang-orang kafir makkah yang ditawan oleh Nabi beserta pasukan islam dan tidak dapat menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang muslim untuk menulis dan membaca sebagai ganti tebusan. Sehinggga pada awalnya pengumpulan Al-Qur’an ditempuh melalui dua cara, yaitu
1. Al-jam’u fis-sudur(dikumpulkan di dalam hati), yaitu dilakukan melalui metode hafalan para sahabat
2. Al-jam’u fis-sutur(dikumpulkan di media tertentu), yaitu dilakukan dengan menuliskan ayat-ayat yang disampaikan oleh Rasulullah SAW di pelepah kurma, lempengan batu, kulit hewan atauapun tulang hewan
Hasil penulisan Al-Qur’an belum tersusun secara berurutan sesuai ayat ataupun surahnya tetapi Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk kepada para penulisan ayat-ayat Al-Qur’an tentang letak tiap-tiap ayat dan surah
Zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sepeninggalan Rasulullah SAW, Aisyah menyimpan beberapa naskah(manuskrip) Al-Quran. Naskah-naskah ini pun kemudian dikumpulkan tetapi susunannya didasarkan pada urutan turunnya ayat
Pengumpulan naskah-naskah Al-Quran pada masa Abu Bakar ini disebabkan gugurnya banyak para penghafal Al-Quran pada Perang Yamamah. Umar bin Khathab yang mula-mula mengusulkan agar naskah-naskah tulisan Al-Quran dikumpulkan dan dijadikan satu. Abu Bakar sempat menolak dan menyatakan tidak berani menginstruksikan dilaksanakannya usulan Umar. Namun usulan Umar akhirnya diterima karena hal itu sangat penting artinya dan tidak lain adalah suatu kebaikan
Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk menjadi penanggung jawab utama dalan memeriksa dan meneliti naskah-naskah Al-Quran yang ada untuk kemudian dikumpulkan dan disusun kedalam satu jilid besar(master volume)
Setelah menjadi satu volume besar, naskah Al-Quran hasil pengumpulan Zaid ini disimpan oleh Abu Bakar. Peristiwa itu terjadi pada tahun 12 H
Zaman Khalifah Umar bin Khathab
Setelah Abu Bakar wafat naskah besar ini disimpan oleh khalifah sesudahnya, yaitu Umar. Sepeninggalan Umar, master volume ini disimpan oleh putri Umar yang hafal Al-Quran bernama Hafshah binti Umar r.a. Hafshah terpilih untuk menjaga mushaf dengan pertimbangan bahwa dia adalah salah seorang istri Rasulullah SAW
Umar mengirim para sahabat yang punya kredibilitas dan kapasitas yang tinggi dalam bidang bacaan dan kandungan Al-Quran ke wilayah-wilayah Islam yang baru dikuasai
Zaman Khalifah Utsman bin Affan
Adanya benih-benih perselihan di antara pemeluk Islam dari kalangan non-Arab karena mereka membaca Al-Quran dengan dialek bahasa masing-masing membuat Utsman berinisiatif meminta Hafshah untuk meminjamkan mushaf yang dipegangnya agar disalin oleh tim yang telah dibentuk Utsman
Kodifikasi dan penyalinan kembali mushaf Al-Quran ini terjadi pada tahun 25 H. Pada proses kodifikasi ini, Utsman berpesan bahwa apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan ayat-ayat tertentu maka agar mengacu pada dialek suku Quraisy karena Al-Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka
Utsman membuat salinan Al-Quran sejumlah 6 mushaf(riwayat lain ada yang mengatakan 5 eksemplar, 7 eksemplar). Setelah selesai Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya. Tercatat mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar, yaitu Kuffah, Bashrah, Mesir, Syam, dan Yaman. Utsman sendiri meminta satu mushaf untuk ia simpan di Madinah. Mushaf ini belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam
Tulisan yang dipakai oleh tim yang dibentuk Utsman untuk menyalin mushaf itu berpegang rasm al-anbath yang tidak dilengkapi syakl(harakat/tanda baca) ataupun nuqath(titik sebagai pembeda huruf)

Penemuan manuskrip kuno Al-Quran diperkirakan antara tahun 568 dan 645 M (24 H)
Zaman Khalifah Ali bin Abu Thalib
Tersebarnya cahaya Islam di hampir penjuru dunia dan dipeluk oleh berbagai macam suku dan bangsa yang memiliki bahasa yang berbeda-beda memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat karib Khalifah Ali bin Abu Thalib, Abu Al-Aswad Ad-Duali untuk membuat tanda baca(nuqathul I’rab) yang kemudian dikenal dengan istilah “harakat”
Perkembangan Tanda Baca
Adapun yang pertama kali membuat tanda titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya(nuqathu harf) adalah Nashr bin Ashim(w. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi salah seorang gubernur pada masa Dinasti Umayyah(40–95 H)
Pada perkembangan berikutnya Khalil bin Ahmad al-Farahidi(w. 170 H) menyempurnakan tanda baca berupa fathah, kasrah, dhammah, sukun, dan tasydid seperti yang kemudian kita kenal sekarang ini
Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama berijtihad untuk semakin mempermudah orang dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an khususnya orang non-Arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid berupa isymam dan madd
Para ulama ini juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat mencantumkan nomor ayat. tanda-tanda waqaf(berhenti membaca), ibtida(memulai membaca), dan menerangkan identitas surah di awal setiap surat terdiri dari nama, tempat turunnya surah, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah tajzi yaitu tanda pemisah antara satu juz dan juz yang lainnya berupa kata “juz” diikuti dengan penomoronnya(misalnya al-juz’us-salisu untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa setengah juz, seperempat juz, seperlima juz, dan sepersepuluh juz
Wallahu A’lam Bisshawab
Refrensi :
- Agus Hidayatullah LC, M.A Dkk, 2012, Mushaf Al-Jamil – Ulumul Qur’an, Bekasi: Cipta Bagus Segara
- Kitab Tarikh Khulafa’ Imam Suyuthi
Komentar Terbaru